Gunung Gajah, Purworejo |
“Jalan-jalan membludak dengan
kendaraan, manusia, terompet, dipuncak pergantian tahun kembang api diletupkan
ke bawah langit atas bumi. Mereka yang datang mengaguminya. Itu kalau di
jalan-jalan, bagaimana dengan pusat perbelanjaan. Mereka berlomba-lomba potong
harga murah, malam itu menjadi pesta hedonisme. Pemuja barang.” Amang menyadari
perkataannya frontal tidak di control
asal mental.
“Kita itu miskin kebutuhan, miskin pengetahuan kebutuhan, bahkan kita benar-benar fakir. Enggak punya kekayaan. Itu yang membuat kita mudah kagum, menghabiskan uang tanpa mempertimbangkan barang yang dibeli termasuk dalam kebutuhan atau tidak. Kita sangat miskin pengetahuan kebutuhan.” Segi masuk menedah rangkain kata.
“Kita ini tidak hanya miskin pengetahuan, kita benar-benar miskin disegala hal.
“Maksudmu?"
“Tapi miskin kaya itu tidak menjadi masalah yang penting kita mampu bertahan pada Tuhan atau tidak. Banyak orang yang tidak fakir mereka malah mendustakan rezekinya. Banyak orang yang fakir selalu mensyukuri setiap rezeki yang diberikan Tuhan. Hidupkan bukan untuk bertahan hidup tapi untuk bertahan kepada Tuhan, itu tujuannya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu bersyukur. Ohya bahkan kita semua ini miskin secara materi di hadapan Tuhan bahkan di segala hal kita miskin di hadapanNya. Tidak ada yang bisa mendeklarasikan kekayaan di depan Tuhan.”
“Oh itu maksudmu. Mungkin orang-orang
fakir seperti kita ini dekat dengan Tuhan ya?”
“Kamu kok ge-er banget. Kan tadi sudah saya bilang hidup itu bukan untuk bertahan hidup. Mau kaya mau miskin, bukan pada pada kaya dan miskinnya, tapi bagaiaman kita bertahan kepada Tuhan? Apakah kita berdusta atau bersyukur dengan kaya atau miskin kita? Kalau kamu selalu bersyukur dalam kedaan fakir maka itu menandakan kamu bertahan kepada Tuhan. Maka itulah kehidupan yang baik untukmu. Sekarang kamu tinggal pilih mau kaya tapi tidak bersyukur, atau mau fakir tapi tetap bersyukur?”
“Ya kedua-duanya dong, kaya tetap bersyukur.”
“By the way apa hubungannya dengan perenungan malam tahun baru.” Amang terlupakan dengan awalanya.
“Malam tahun baru adalah gambaran kita saat ini yang miskin pengetahuan, miskin hiburan, miskin kebahagiaan, bahkan miskin harga diri. Kita itu mudah tergelincir oleh godaan materil, kita merelakan diri kita tidak menghargai kebahagiaan yang telah ada dalam diri kita.”