Sudahku Al-Fatihah-kan jiwa dan tubuhku untuk tidur. Tiba-tiba Goib datang memberitahuku. Seperti biasa, dari pada aku lupa dengan pemberitahuannya aku bangun membuka alat tulisku.
“Kita
hanya wayang. Kita ini benda, iya benar-benar benda. Benar-benar wayang yang
tidak memiliki apa-apa. Kita tidak mutlak, tidak memiliki kebenaran mutlak,
harta mutlak, dan kita ini akan menjadi seonggok benda yang akan diantarkan ke
tanah lalu di kubur. Saat itu tamatlah kita.” Dia memindahkan gelas (berisi air
minum) di sampingku dan memberikannya kepadaku. Sekejap kemudian aku minum.
Ia
melanjutkan. “Ketika kita tamat maka keluarga sudah tidak ada, harta tidak bisa
dikubur, kekuasaan atau jabatan tidak bisa digunakan lagi, kreativitas sudah
putus, semua yang kita banggakan lenyap. Iya karena kita memang benar-benar
benda, wayang.
Kita di dunia ini ibarat burung yang terbang kesana kemari. Terbang dari ranting. Mengepakkan sayap, terbang tinggi, tebang melewati dunia, benua, toh pada saatnya mencari ranting untuk hinggap lagi. Berjuta keindahan yang kita nikmati dan kemewahan yang kita gunakan. Itu hanya benda yang sama dengan kita. Mobil, rumah, laptop, dan kita adalah benda. Bukan apa-apa.
Kelebihan kita dari benda lainnya memang sudah ditakdirkan. Tetapi kelebihan kita dari benda yang lainnya itu mau diarahkan kemana? Tergantung arahnya kalau ke dalam kebaikan, maka akan baiklah kita sebagai benda, akan bermanfaat bagi benda lainnya. Nah yang kita bawa ketika kembali ke empat hinggap abadi kita adalah kebaikannya.
Kalau harta, kebenaran, ilmu kita gunakan untuk kebaikan maka kebaikannya-lah yang kita bawa. Bukan bendanya. Begitu juga kita, yang kembali adalah ruhnya bukan bendanya (fisiknya). Kalau ruh kita mengarahkan benda (badan/fisik) kita dalam kebaikan maka kebaikannyalah yang akan kita bawa. Bukan fisik yang tinggi, pendek, gendut, kurus, ganteng itu akan tidak penting lagi kalau kita menghinggap di tempat terakhir.[]