Aku berjalan
sendiri di jalan kampung. Tidak melihat siapapun. Aku ingin berbuat baik, tapi
tidak ada orang di sana. Mau ngopi tapi tidak ada yang diajak. Mau ngobrol,
bercanda, main kartu, ngerokok, tapi tidak ada orang sama sekali.
Aku
bertanya kepada diriku, siapa yang harus aku ajak ngerokok?
Aku kesepian. Aku
belum menikah, masih jomblo. Andai sudah menikah, aku akan mengajak istri untuk
minum kopi sambil menanyakan harga beras.
Akhirnya
aku terima saja perjalanan sunyiku ini.
Aku
menghendaki diriku pulang ke rumah. Ah disana tidak ada orang. Aku sendirian.
Akhirnya aku mengambil polpen dan selembar kertas. Aku tulis puisi.
Aku
berbicara dengan diri sendiri. Hasil pembicaraan ke dalam diriku menghasilkan
puisi itu.
Kekasih, aku persembahkan puisi untukmu.
Tapi aku baru ingat ternyata diriku masih jomblo.
Ku sobek puisi itu, lalu
membakarnya.
Pikirku,
untuk siapa aku membacanya, kalau nyatanya aku jomblo. Tidak ada kekasih yang akan aku sanjung.
Nasib.
***
Aku
bercanda. Ku ceritakan tentang diriku yang salah paham saat makan di Alalo. Aku ceritakan seperti ini.
“Mbak sampaian tadi sapa aku gak?”
Mata mbaknya serta vocal suaranya sangat mengena. “Mboten mas. Tidak mas.”
Aku langsung pergi meninggalkan gadis itu, tanpa kata penutup. Tanpa minta maaf.
Ah tidak ada yang menertawakan ceritaku. Sia-sia.
Sebenarnya
hidup sendiri itu tidak bisa. Kita butuh perhatian orang lain. Tanggapan orang
lain.
Aduh
kok malah jadi gini tulisannya. wkwkwk
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah berkomentar.