“Ah
kalian salah memilih, salah mencontoh, salah mengikuti. Bahkan kalian itu tidak
tahu siapa yang harus kalian ikuti dan siapa yang harus tidak diikuti. Kalian
hanya modal tiru-tiruan tanpa mempunyai panduan dan acuan. Akal kalian sudah
tidak kalian fungsikan lagi. Diri kalian sudah tidak ada, kalian tidak memiliki
jati diri lagi sebagai manusia bahkan makhluk. Bagaimana nanti kalian akan
menjadi abdullah dan khalifatullah, kalau saja kalian terlepas dari dirimu?” Wisnu
menyesalkan semua sikap wayang-wayang lainnya.
Finung
menaikkan sang Panji kedepan layar pewayangan. Mulai menancapkan patokan di
debong pisang. Panji berdiri tegak. Finung mulai mengetuk.
Panji melanjutkan kalimat yang disampaikan
oleh Wisnu. “Negara yang kalian tiru adalah negara yang terus mengacungkan jari
tengahnya kepada saudara-saudara kalian, memusihi saudara-suadara kalian, menindas
saudara kalian. Selama ini kalian salah meniru kehidupan. Yang kalian tiru
adalah kehidupan materialis, histeria, dan individualisme-nya negara Amerika
Serikat.”
Wayang-wayang
kecil itu hanya tertunduk mendengarkan semua lontaran-lontaran kekesalan Panji
dan Wisnu. “Maafkan kami Sepuh. Kami hanya wayang-wayang yang tidak tahu diri.”
Salah satu dari mereka berdiri.
“Aku
tahu kalian hanya korban dari sistem. Tapi aku minta kepada kalian semua untuk
selalu tetap bertahan pada diri kalian. Jangan sampai mengikuti keinginan
kalian saja.” Bima dari belakang menyusul.
“Aku akan memberi tahukan kepada kalian semua. Bahwa yang kalian tiru adalah kehidupan individualisme. Kehidupan yang mementingkan hidup sendiri. Kalian ingin terlihat dan ingin dinyatakan hidup dengan rela membunuh orang lain. Kalian ingin dikatakan ada, kalian rela meniadakan orang lain. Kalian ingin dinyatakan kaya, kalian rela merampas tanah dan harta orang lain. Itu sangat sungguh kejam.” Wisnu terus bergerak dilayar.
Sang
dalang menjeda sejenak mengambil kopi suguhan dari tuan rumah.
Wisnu
mengangkat tangannya. Ia melanjutan, “Negara Amerika yang kalian anggap maju,
makmur, dan kaya. Kalian menirunya, mendambakannya. Padahal mata kalian itu
terbuka lebar, tapi mata kalian itu hanya fokus kepada materi. Kalian
mendambakan materialisme-nya Amerika.
Negara yang menindas saudara kita di Palestina, Amerika membuka peluang
kekejaman, kezaliman. Kalian dengan jelas melihatnya. Tapi kalian masih saja
meniru materialismenya. Karena materialisme hidup membuat kalian buta akan
kekejaman yang mereka lakukan.”
“Kalian
berkoar-koar di dunia sebelah (media sosial) dengan kata-kata pembelaan untuk
Palestina. Tapi cara hidup, berpikir, bertindak kalian sama saja seperti negara
penindas itu.” Giliran Panji berpindah ke depan Wisnu.
“Maaf Panji. Aku izin berbicara
mungkin agak lama.” Bima meminta. Panji mundur ke belakang.
Panji mengajak semua wayang-wayang
fokus. “Ini pesan saya untuk kita semua wayang. Kalian perlu mempunyai patokan
hidup, perlu punya panutan dalam diri kalian agar berhenti memuja materialisme.
Agar berhenti meniru kehidupan materialisme yang menindas saudara kalian.”[]