Pimpinan
pondok pesantren di Kabupaten Bandung dianiaya seseorang yang tak dikenal
identititasnya. Penganiayaan terjadi di dalam masjid pada sabtu (27/1), saat
beliau sedang berdzikir.
Menurut
saksi yang tidak rela disebutkan namanya menyatakan bahwa pelaku sempat mengatakan
“ieu mah pinerakaeun, nu di dieu mah
pinerakaeun kabeh.” Pelaku mengatakan ini mah di neraka, yang di sini
neraka semua. Pelaku tersebut sambil menunjukkan amplifier alat pengeras suara.
Kejadian
di atas sangat memprihatinkan batin saya, mungkin kita semua. Yang sangat
memprihatinkan adalah sikap penganiayaan dan perkataan yang diucapkan pelaku.
Penganiayaan
adalah kekejaman. Kita sepakat menganiaya seseorang bukanlah perilaku yang
dapat dibenarkan dan sangat dilarang oleh hukum.
Terkadang
perkataan kita lebih kejam dari pada menganiaya. Nu di dieu mah pinerakaeun, semua orang yang ada disana adalah
orang-orang yang akan menghuni neraka. Jangan sampai kita mengatakan sesuatu
yang menyakitkan orang lain apalagi menyatakan (bahkan memutuskan) bahwa orang
yang berbeda dengan kita tempatnya adalah neraka. Padahal yang berhak
memasukkan orang ke surga atau neraka adalah Tuhan.
Membenarkan diri sendiri. Ieu mah pinerakaeun, ini mah neraka. Jangan menganggap diri paling benar, karena yang memiliki kebenaran sejati itu hanyalah Tuhan. Inna robbaka huwa a’lamu biman dholla ‘an sabiilihii wa huwa a’lamu bilmuhtadiin. Hanya Tuhan yang lebih mengetahui siapa yang sesat, yang diberikan kebenaran, dan yang di berikan petunjuk. Maka kita tidak boleh membenarkan diri kita sendiri.
Kita
harus bisa bertoleransi terhadap kebenaran orang lain. Kebenaran itu sifatnya
relatif, selalu bergerak, bahkan kebenaran manusia belum tentu benar dihadapan
Tuhan. Oleh karena itu, kita dituntut untuk menerima dan terbuka terhadap
kebenaran orang lain.
Gagal
paham dalam menyebarkan kebaikan atau kebenaran. Janganlah kita melakukan
penyebaran kebenaran yang kita anggap baik atau benar dengan suatu yang kejam.
Padahal agama mengajarkan kita untuk menyebarkan kebaikan dengan perilaku yang
baik. Ud’u ilaa sabiili robbika
bilhikmati wal-mau’izhotil hasanati wa jaadil-hum billati hiya hasan. Ajaklah
manusia dengan hikmah kepada jalan Tuhanmu. Hikmah adalah intinya kebaikan,
kalau saya mengatakannya adalah madunya kebaikan, ayat di atas tercantum dalam
An-Nahl. Mengajarkan orang lain harus dengan kebaikan. Begitu juga jika kita
berdebat dengan orang yang berbeda pemahaman dengan kita maka kita harus
berbuat baik.
Belasan abad yang
lalu Muhammad SAW mencontohkan saat beliau diminta oleh malaikat untuk mohon
kepada Tuhan agar orang-orang yang berbeda -menghalangi beliau mengajak dalam
berbuat kebaikan- dengan beliau disikat habis dan diratakan dengan tanah. Tapi
dengan kebaikan beliau, menyatakan kalau aku melakukannya nanti siapa yang akan
mengikuti kebaikan yang aku bawa. Maka kita harus berjamaah dalam kebaikan,
berjamaah untuk memasuki surga milik Tuhan.
Perilaku
berbuat kekejaman dalam hal ini adalah kekerasan fisik dan menjudge seseorang adalah sesuatu yang
tidak baik. Dalam berkehidupan dengan orang yang berbeda maka kita harus
bersikap memamunisiakan manusia, atau dengan yang paling rendah yaitu bersikap
memakhlukkan orang lain.
Maksud
memanusiakan ataupun memakhlukkan orang lain adalah jika kita adalah manusia
ketika disakiti maka kita akan merasa sakit, nah bagaimana jika orang lain kita
sakiti maka orang tersebut akan merasakan hal yang sama ketika kita disakiti. Begitulah
yang dirasakan korban penganiayaan, semoga beliau diampuni dosanya dan semoga
cepat disembuhkan. Oleh karena itu, tindakan menyakiti dan berbuat kejam
terhadap orang lain sebaiknya kita hindari dalam perilaku kehidupan kita.