Aku
langsung mengalihkan pembicaraan tentang malam tahun baru. Karena logika
berpikirku kalah sama pak Tujur.
Aku
mengakui bahwa dia memiliki kematangan berpikir dan sangat bijaksana. Kalau
hanya karena meniup terompet saja
menjadi yahudi, eh nanti malah malaikat menjadi yahudi dan tidak terjadi
kiamat.
Pak
Tujur tak lepas dari berita selat sunda yang mengalami Tsunami atau Tsunami
Tselat Tsunda disingkat 3T. “Pak Tujur, pada tahun ini banyak yang bertemu
ajalnya karena aktivitas alam. Gempa bumi di Lombok dan Sumbawa, gempa bumi dan
tsunami di Palu dan Donggala, gunung meletus dan tsunami di Selat Sunda yang
mengenai Lampung dan Banten. Bahkan juga karena kecelakaan pesawat terbang Lion
Air.”
“Iya.”
Kata pak Tujur. “Aktivitas alam terkhusus Bumi memang seharusnya begitu. Ia
memiliki saat-saat tertentu untuk beraktivitas, karena bagi saya Bumi termasuk
makhluk hidup. Ia butuh waktu istirahat, bernapas, beraktivitas, mengeluarkan
kotoran, mengobati diri dari penyakit, butuh makan, butuh keamanan, butuh sahabat
yang baik, dan butuh yang lainnya. Mungkin adanya gempa bumi adalah sebagai
obat dia untuk memperbaiki unsur-unsur tulang belikatnya, detak nadinya. Gunung
meletus sebagai bentuk dia mengobati diri, agar kulit-kulitnya tetap subur,
aliran darah dalam tubuhnya tetap mengalir. Ah ngomong apa sih aku.”
“Tapikan
aktivitas yang dilakukan oleh bumi itu menyebabkan terjadinya bencana, banyak
orang meninggal dunia, kehilangan keluarga, sawah rusak, bangunan-bangunan
hancur, dan banyak menyebabkan kerugian lainnya.” Aku menimpali.
“Ah
bencana itu hanya menurut kebutuhan manusia saja. Misal, kenapa kok banjir
dianggap bencana? Padahal air itu hanya memiliki aturan mengalir hanya ke sesuatu
yang kosong, ketempat yang lebih rendah,
air mengalir ke rumah-rumah mu melebihi tinggi satu meter itu karena air hanya
akan mengikuti lahan-lahan kosong. Kita menganggap air yang meluap dan
menggenangi rumah tinggal kita, itu kita anggap sebagai bencana, karena
kebutuhan tempat tinggal kita telah digenangi air. Hujan turun, kita
menggerutu. Ah gak bisa pulang! Bisa terlambat nih! Ah hujan menghalangiku!
Semuanya kita keluhkan, kita anggap bencana karena melihat dari sudut pandang
kebutuhan kita.”
“Oh
gitu ya pak.”
“Kalau
menurut aku sih begitu. Kalaupun ada yang meninggal dunia, itupun bukan suatu
kecelakaan bagiku. Bisa saja itu suatu keselamatan. Ya maksudku selamat di
akhirat.”
“Lah
kalau sudah mati begitu ya, memang sudah ajalnya pak.”
“Memangnya
ajal itu hanya sebatas kematian? Mengapa kok gunung meletus tidak disebut ajal?
Mengapa kemenangan PSS Sleman menjadi juara Liga 2 tidak disebut sebagai ajal?
Mengapa kelahiran kita tidak disebut sebagai ajal? Mengapa Persija Jakarta
menjadi juara Liga 1 tidak disebut sebagai ajal sepakbola? Padahal ajal adalah sesuatu
yang tidak dapat ditunda, diundur, dibatalkan, dan dipercepat. Ajal itu
mengenai momentum yang pas, ya bisa mati, hidup, keselamatan, aktivitas alam.
Mengapa 3T, Tsunami Tselat Tsunda
tidak disebut sebagai ajal, malah disebut bencana?” Pak Tujur serius.
Aku
hanya diam dan tak ingin kalah untuk kedua kalinya. Aku ambil saja kopiku dan
kutinggalkan pak Tujur sendiri.
“Bocah
Cebong malah aku ditinggal. Kampret.”
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah berkomentar.