Jumat, 28 Desember 2018

Ajal Tsunami Tselat Tsunda

KAMARUDIN


Aku langsung mengalihkan pembicaraan tentang malam tahun baru. Karena logika berpikirku kalah sama pak Tujur.

Aku mengakui bahwa dia memiliki kematangan berpikir dan sangat bijaksana. Kalau hanya karena meniup terompet saja  menjadi yahudi, eh nanti malah malaikat menjadi yahudi dan tidak terjadi kiamat.

Pak Tujur tak lepas dari berita selat sunda yang mengalami Tsunami atau Tsunami Tselat Tsunda disingkat 3T. “Pak Tujur, pada tahun ini banyak yang bertemu ajalnya karena aktivitas alam. Gempa bumi di Lombok dan Sumbawa, gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala, gunung meletus dan tsunami di Selat Sunda yang mengenai Lampung dan Banten. Bahkan juga karena kecelakaan pesawat terbang Lion Air.”

“Iya.” Kata pak Tujur. “Aktivitas alam terkhusus Bumi memang seharusnya begitu. Ia memiliki saat-saat tertentu untuk beraktivitas, karena bagi saya Bumi termasuk makhluk hidup. Ia butuh waktu istirahat, bernapas, beraktivitas, mengeluarkan kotoran, mengobati diri dari penyakit, butuh makan, butuh keamanan, butuh sahabat yang baik, dan butuh yang lainnya. Mungkin adanya gempa bumi adalah sebagai obat dia untuk memperbaiki unsur-unsur tulang belikatnya, detak nadinya. Gunung meletus sebagai bentuk dia mengobati diri, agar kulit-kulitnya tetap subur, aliran darah dalam tubuhnya tetap mengalir. Ah ngomong apa sih aku.”

“Tapikan aktivitas yang dilakukan oleh bumi itu menyebabkan terjadinya bencana, banyak orang meninggal dunia, kehilangan keluarga, sawah rusak, bangunan-bangunan hancur, dan banyak menyebabkan kerugian lainnya.” Aku menimpali.

“Ah bencana itu hanya menurut kebutuhan manusia saja. Misal, kenapa kok banjir dianggap bencana? Padahal air itu hanya memiliki aturan mengalir hanya ke sesuatu yang  kosong, ketempat yang lebih rendah, air mengalir ke rumah-rumah mu melebihi tinggi satu meter itu karena air hanya akan mengikuti lahan-lahan kosong. Kita menganggap air yang meluap dan menggenangi rumah tinggal kita, itu kita anggap sebagai bencana, karena kebutuhan tempat tinggal kita telah digenangi air. Hujan turun, kita menggerutu. Ah gak bisa pulang! Bisa terlambat nih! Ah hujan menghalangiku! Semuanya kita keluhkan, kita anggap bencana karena melihat dari sudut pandang kebutuhan kita.”

“Oh gitu ya pak.”

“Kalau menurut aku sih begitu. Kalaupun ada yang meninggal dunia, itupun bukan suatu kecelakaan bagiku. Bisa saja itu suatu keselamatan. Ya maksudku selamat di akhirat.”

“Lah kalau sudah mati begitu ya, memang sudah ajalnya pak.”

“Memangnya ajal itu hanya sebatas kematian? Mengapa kok gunung meletus tidak disebut ajal? Mengapa kemenangan PSS Sleman menjadi juara Liga 2 tidak disebut sebagai ajal? Mengapa kelahiran kita tidak disebut sebagai ajal? Mengapa Persija Jakarta menjadi juara Liga 1 tidak disebut sebagai ajal sepakbola? Padahal ajal adalah sesuatu yang tidak dapat ditunda, diundur, dibatalkan, dan dipercepat. Ajal itu mengenai momentum yang pas, ya bisa mati, hidup, keselamatan, aktivitas alam. Mengapa 3T, Tsunami Tselat Tsunda tidak disebut sebagai ajal, malah disebut bencana?” Pak Tujur serius.

Aku hanya diam dan tak ingin kalah untuk kedua kalinya. Aku ambil saja kopiku dan kutinggalkan pak Tujur sendiri.

“Bocah Cebong malah aku ditinggal. Kampret.”

KAMARUDIN / Pengarang & Penulis

Biasa dipanggil Maru. Aktivitas sehari-harinya adalah mengajar, menulis, nonton sepak bola, dan membaca buku. Penyuka kopi. Selalu mencari kebenaran.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah berkomentar.

Coprights @ 2016, Blogger Template Dibuat oleh Templateism | Templatelib