Settt.
Aku buka chat Watsapku.
Prak.
Cetreng. Jurr. Pecahan gelasnya tercecer kemana-mana. Terjadilah banjir bandang
di meja makan. Orang-orang memandang banjir itu terjadi tidak ikut membantuku
menalanginya. Aku sedih, mereka tak mau mengulurkan tangannya.
Aku
terbebankan sedih, luka, dan mengobatinya sendiri. Satu persatu aku pungut
pecahan gelas itu. Semua pecahan telah aku angkat. Banjir yang menggenangi
meja, aku keringkan dengan kekuatan aji serbet yang aku dapat dari tukang soto.
Saat
tukang soto memberikan serbet itu, dia hanya bilang mas pakai ini dan tersenyum
meninggalkanku.
Kesalahan
buruk yang aku lakukan untuk mengawali pagi. Membuka chat watsap dan menggeser
tanganku ke tempat gelas berdiri menampung air teh.
Ambruklah
gelas itu dan hancur menjadi berkeping-keping. Kekuatannya menampung air
sekarang sudah sirna gara-gara kecerobohanku. Ceroboh membuka chat watsap saat
makan.
Perhatian
orang disampingku bukan kepada ambruk sebuah kekuatan penampung air. Tetapi
perhatian dan fokusnya kepada diriku.
Tidak
ingin lama pada perhatian mereka. Aku menuju kasir.
“Bu
soto satu, gorengan tiga, teh hangat.”
“Tigabelas
ribu mas.”
“Sama
tadi saya pecahkan gelasnya satu.”
“Limabelas
ribu mas.”
Aku
membayar sesuai harga.
Ini
pengalaman saya membayar gelas pecah. Padahal gelas pecah itu tidak ada
harganya di toko-toko. Bahkan orang lain akan membuangnya. Ia tidak memiliki
harga lagi. Tapi berbeda jika di warung soto tempat aku makan, harganya menjadi
Rp.2000,-.
Oleh karena itu, jangan buang gelas
pecahmu. Bawalah ke warung soto, akan dibayar Rp.2000,-. wkwk
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah berkomentar.